Sabtu, 28 November 2015

Divisi Sastra dan Budaya

Apresiasi Sastra Indonesia di Sekolah
 Oleh Maman S. Mahayana
Apakah pengajaran sastra (Indonesia) di sekolah bertujuan agar siswa (a) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, dan (b) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia,1atau agar siswa memperoleh pengetahuan (a) tentang sastra dengan berbagai teori dan (b) nama pengarang, judul, dan angkatan-angkatan?
Jika merujuk pada tujuan yang hendak dicapai pada tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)2 yang mulai diberlakukan tahuan ajaran 2006—2007 dan yang pemberlakuannya didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 dan 23/2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, maka sesungguhnya KTSP memberi peluang yang lebih leluasa bagi guru dan pihak sekolah untuk mengembangkan diri dan meningkatkan kompetensinya.3 Tetapi dunia pendidikan (baca: hidup) di Indonesia sering kali serba tidak terduga. Seloroh ganti menteri, ganti kurikulum —yang selama ini selalu menjadi kenyataan— hendaknya tidak lagi terjadi.
Dalam kondisi dunia pendidikan kita yang, konon, berada dalam keadaan karut-marut dengan minimnya kesadaran guru —bahkan juga dosen— bahwa bidang yang mereka masuki bukanlah sekadar sebuah pekerjaan an sich, dengan tugas rutin menyampaikan sesuatu di depan kelas, melainkan sebuah profesi yang semestinya dijalankan secara profesional,4 maka perubahan kurikulum berdampak sangat luas. Guru seperti dihantui serbuan angin puting beliung yang kerap memporakporandakan sekolahnya. Belum selesai mereka membenahi sekolahnya, belum sempat mandi, ganti baju, dan menyiapkan penampilan baru, sudah datang lagi badai lain yang memaksa mereka terus-menerus membenahi diri. Kondisi itu tentu saja menjadikan kebingungan para guru yang seperti tiada habisnya itu menular kepada diri para siswa.
Perubahan kurikulum juga persoalannya menyangkut banyak aspek: biaya, sikap dan kultur (baca: paradigma) guru yang cenderung mengalami gegar ketika menghadapi perubahan, dan sederet panjang masalah. Sumber masalahnya selalu saja jatuh pada kurikulum.
Tentu saja perubahan kurikulum itu di belakangnya bertumpuk berbagai alasan atas nama kemajuan dan usaha peningkatan kualitas pendidikan nasional. Dengan alasan itu, bolehlah kita memberi apologia kepada para dewa pembuat kurikulum. Oleh karena itu, sebelum kurikulum mutakhir itu hendak dijalankan, seyogianya kita memahami substansi KTSP. Jika, di sana-sini KTSP berisi kemungkinan menjebloskan guru dan siswa ke jalan yang sesat, eloklah kita tolak. Tetapi, jika memberi peluang bagi peningkatan kualifikasi guru, bolehlah dicobakan dahulu selama satu dasawarsa. Di belakang itu, harus ada pula semacam “jaminan” bahwa uji-coba kurikulum atau evaluasi dan revisi kurikulum akan dilakukan dalam waktu tertentu.
* * *
Jika mencermati setiap muatan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dalam KTSP, maka segalanya memang baik-baik saja, sama halnya juga dengan Kurikulum 1994 dan Kurikulum Berbasis Kompentensi (KBK, 2004).5 Semuanya bagus dan ideal dengan segudang pengandaian, bahwa dengan pemberlakuan kurikulum ini, guru akan begini, hasilnya juga siswa bakal begini. Sementara, dengan kurikulum itu, guru akan begitu, hasilnya juga siswa akan begitu. Pengandaian ini datang lantaran para perumus kurikulum adalah para dewa yang diminta turun dari kahyangan lalu ditugasi untuk menciptakan satuan-satuan materi pembelajaran yang begitu terinci yang akan diberlakukan untuk semua jenjang pendidikan. Di sana, disertakan pula daftar buku yang diwajibkan, yang dianjurkan atau yang sekadar disebutkan saja judulnya. Sangat mungkin, buku yang diwajibkan susah dicari atau tidak ada di sekolah itu. Atau juga, buku yang diwajibkan itu datang dari penerbit tertentu yang lewat Dinas Pendidikan, semuanya gampang diatur.
Begitulah, keluh-kesah para guru —sejauh pengamatan saya selama berhubungan intim dengan sejumlah guru di berbagai daerah di Indonesia— tertuju pada kurikulum yang seperti didatangkan begitu saja dari langit. Lalu, tiba-tiba, guru diancam untuk melaksanakan kurikulum itu. Guru tidak diberi ruang bergerak yang lebih bebas dan potensi daerah terkesan tidak dapat diakomodasi. Dan selalu, puncak ketegangan itu terjadi menjelang pelaksanaan Ujian Negara (UN).6
Dalam KTSP segalanya seperti hendak “diserahkan” kepada guru dan sekolah masing-masing. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang menarik yang ditawarkan dalam KSTP, yaitu guru dan sekolah —terlepas dari campur tangan Kepala Dinas— diberi peluang untuk membuat silabus, kurikulum, dan indikator-indikatornya sendiri. Di sana, tidak ada keharusan menggunakan kurikulum tertentu beserta sejumlah daftar bukunya yang juga tertentu. Dalam hal ini, prinsip fleksibilitas memberi keleluasaan bagi guru untuk menambah jumlah jam pelajaran per minggu sesuai kebutuhan. Di sana, diizinkan pula memasukkan muatan lokal sebagai bahan pelajaran yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat.
Dalam konteks pelajaran sastra, muatan lokal tentu saja bertebaran begitu banyak, mulai dengan memanfaatkan khazanah cerita rakyat, dongeng, seni pertunjukan, bahkan juga cerpen yang dimuat di koran-koran lokal pada setiap hari Minggu. Jadi, tidak ada alasan bagi guru untuk berkeluh-kesah menangisi tiadanya bahan pelajaran, lantaran KTSP memberi peluang bagi guru dan sekolah untuk mengembangkan kreativitasnya sesuai dengan tuntutan sekolah atau daerahnya.
Lepasnya campur tangan Kepala Dinas atau birokrat pendidikan, di satu pihak memberi kebebasan bagi guru dan pihak sekolah mengembangkan diri dan memanfaatkan berbagai bahan yang sesuai dengan kebutuhan, dan di lain pihak, menuntut guru bekerja lebih keras untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri, termasuk persoalan yang menyangkut manajamen sekolah dan kegiatan rutin pembelajaran (bidang akademis).7Jadi, sangat mungkin dalam ihwal muatan lokal, setiap sekolah mengajarkan materi yang berbeda-beda. Tetapi di situlah KTSP mengakomodasi potensi daerah yang menyangkut kehidupan sosio-budaya serta kondisi peserta didiknya.
Persoalan yang mungkin bakal menjadi kendali bagi pelaksanaan KTSP adalah masih adanya penyelenggaraan Ujian Nasional (UN). Problem pelaksanaan kurikulum sesungguhnya juga lantaran adanya kecenderungan pengajaran yang berorientasi pada keberhasilan UN. Keberhasilan guru mengajar sering kali diukur oleh keberhasilan siswa lulus UN.8 Akibatnya, UN dianggap sebagai satu-satu tolok ukur keberhasilan guru dan sekaligus juga sekolah.9 Tambahan lagi, soal-soal UN yang cenderung sebagai standar dan bersifat umum (nasional), tidak hanya menafikan keberadaan muatan lokal, tetapi juga mengandaikan semua sekolah di seluruh Indonesia mempunyai standar kompetensi yang relatif berada dalam tingkat yang tidak terlalu jauh berbeda. Di samping itu, mengingat UN bersifat nasional, massal, maka soal-soal dipilih sedemikian rupa dengan menggunakan pola memilih. Soal-soal semacam ini tentu saja efektif untuk memudahkan koreksiannya. Jawaban yang sekadar memilih A, B, C, D, atau E pemeriksaannya cukup dengan komputer yang dengan sekali pijit enter, segalanya dapat diselesaikan secara cepat, murah, dan mudah.
Untuk mata pelajaran eksakta atau ilmu pengetahuan sosial yang pertanyaannya menuntut jawaban benar atau salah, tentu saja pola soal yang seperti itu dapat diterapkan dengan hasil yang relatif dapat diandalkan. Tetapi untuk pelajaran tertentu yang bersifat keterampilan dan apresiasi —sebutlah mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia— soal-soal semacam itu justru bakal menimbulkan masalah. Oleh karena itu, jika ujian nasional tetap akan diselenggarakan, maka pertanyaan yang menyangkut keterampilan dan apresiasi seharusnya dihilangkan. Sedangkan hasil ujian nasional bukanlah untuk menentukan kelulusan peserta didik, melainkan sekadar untuk mengukur standar pendidikan nasional.
* * *
Bagaimana pemberlakuan KTSP dalam kaitannya dengan pelajaran bahasa dan sastra Indonesia?10Memperhatikan muatan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) dalam KTSP, maka —sebagaimana yang juga tersurat dalam kurikulum 1994 dan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)— segalanya sangat menjanjikan, ideal, dan penuh pengharapan.11 Demikian juga dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pengajaran Bahasa Indonesia.12 Jadi, jika tujuan pelajaran bahasa Indonesia dalam KTSP tercapai, maka tak bakal terjadi lagi keluh-kesah tentang kemampuan berbahasa —lisan dan tulis— peserta didik, tak bakal lagi terdengar anggapan bahwa sastra Indonesia terpencil dari masyarakatnya, dan generasi masa depan Indonesia akan menjadi manusia yang gemar menulis dan membaca!
Pengandaian itu menjadi begitu optimistik manakala ada keterangan berikut: “Pada akhir pendidikan di SMA/MA, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya 15 buku sastra dan nonsastra.”13
Mengenai Standar Kompetensi yang menyangkut (1) Mendengarkan, (2) Berbicara, (3) Membaca, dan (4) Menulis, penjabaran dalam Kompetensi Dasar khusus sastra Indonesia yang terdiri atas 36—38 materi dalam setiap semester, pelajaran sastra berkisar antara 16—18 materi. Jadi, cukup proporsional. Dari materi sejumlah itu, sekitar 6—8 menyangkut teori dan pengetahuan sastra, selebihnya apresiasi. Meskipun di sana materi sejarah sastra tidak disinggung, materi apresiasi cukup mendapat ruang yang lebih leluasa. Kembali, jika itu dijalankan secara benar, maka apresiasi sastra sesungguhnya tidaklah menjadi masalah.
Pertanyaannya: mengapa dari tahun ke tahun meski telah gonta-ganti kurikulum, keluh kesah tentang pelajaran bahasa dan sastra Indonesia masih selalu bergentayangan? Jika dalam Kurikulum 1994 dan KBK, tumpuan kesalahan itu selalu dijatuhkan pada kurikulum, maka hal yang sama juga sangat mungkin akan terjadi. Jika begitu, pasti ada sesuatu yang tidak beres entah pada siapa.
Problem mendasar pelajaran bahasa dan sastra Indonesia —salah satunya boleh jadi—sesungguhnya terletak pada semangat guru untuk mengajarkan sejumlah teori dan pengetahuan tentang bahasa dan sastra Indonesia. Perlu diingat bahwa pelajaran bahasa (dan sastra Indonesia) di sekolah, jika memang tujuannya sebagaimana yang dieksplisitkan dalam tujuan Mata Pelajaran Bahasa Indonesia,14 maka tidak dapat lain, pelajaran yang menyangkut teori dan pengetahuan harus segera disisihkan, apalagi yang diberikan adalah teori-teori linguistik. Inilah sumber malapetaka pelajaran bahasa Indonesia. Bahaya betapa pelajaran bahasa Indonesia akan mengalami malapetaka jika yang diberikan lebih banyak teori dan gramatika, sudah pernah disinggung Sutan Takdir Alisjahbana. Sejak tahun 1930-an, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah sebagian besar menggunakan buku-buku tatabahasa karya para penulis Belanda, maka materi yang diajarkan cenderung menjadi sangat linguistis.15 Akibatnya, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah sama sekali tidak mengarahkan penguasaan keterampilan berbahasa, melainkan membawa siswa seolah-olah hendak menjadi seorang linguis atau ahli bahasa. Kondisi itulah yang dikeluhkan Sutan Takdir Alisjahbana, “Pada sekolah menengah Goebernemen sekarangpoen masih haroes kita berkata, bahwa pengadjaran bahasa Indonesia itoe tidak berarti sedikit djoeapoen.”16 Di bagian lain, Alisjahbana mengatakan:
Pengadjarannja jang menghamba kepada gramatika bahasa jang dipakai, ketika nenek mojang kita masih berdjalan kaki dan naik bidoek jang rapoeh itoe, mematikan segala minat kepada bahasa. Tjara mengadjarkan jang tiada bersemangat, jang semata-mata mengisi kepala dengan tiada memperdoelikan semangat kanak-kanak, dalam segala hal mematikan kegembiraan kepada bahasa.
Boekoe batjaan, boekoe ilmoe bahasa! .…
Bahasa jang sepatoetnja diadjarkan disekolah oentoek dipakai dalam penghidoepan mendjadi sesoeatoe jang sengadja diadjarkan semata-mata untuk sekolah itoelah.17
Menurut hemat saya, pelajaran bahasa Indonesia yang berkaitan dengan persoalan ilmu bahasa (linguistik) harus diganti dengan pelajaran mengarang. Dari sana, pembahasan tentang ejaan dan tanda baca, boleh dimulai. Bukankah duduk perkara tata bahasa, apalagi yang berkaitan dengan teori-teori linguistik, tidak ada perlunya diberikan di tingkat SD, SMP, dan SMA, kecuali jika para siswa itu bercita-cita menjadi peneliti bahasa atau linguis.18
Hal yang sama juga mestinya diterapkan dalam pelajaran sastra (Indonesia). Apa manfaatnya peserta didik mengetahui, memahami, dan hapal di luar kepada tentang alur, tokoh, tema, latar, sudut pandang, dan berbagai jenis gaya bahasa, jika mereka sama sekali tidak menyentuh karya sastranya. Itulah malapetaka nasional dalam dunia pendidikan Indonesia (khasnya pelajaran sastra Indonesia), ketika siswa terus-menerus dijejali teori-teori dan konsep sastra, sementara karyanya sendiri tidak pernah dilihat dan disentuh. Jadi, yang terutama dalam pelajaran sastra (Indonesia) di sekolah di semua tingkat pendidikan dasar dan menengah, adalah menyuruh siswa membaca karya sebanyak-banyaknya. Tugas guru tinggal bertindak sebagai moderator ketika para siswa mendiskusikan karya itu —bisa dengan cara per kelompok— di depan kelas. Dalam diskusi itu, jawaban salah-benar tidak berlaku, karena yang penting dari jawaban itu adalah alasan yang mendasari jawabannya. Karyanya sendiri bisa bermacam-macam, puisi, cerpen, novel, atau drama. Dari karya sastra yang telah dibaca siswa itulah, guru bisa menerangkan soal konsep-konsep. Tetapi itu pun sebatas pengetahuan belaka. Bukankah tujuannya adalah apresiasi?
Melalui cara yang seperti itu, maka pelajaran sastra tidak hanya dapat menumbuhkan apresiasi siswa pada karya sastra, tetapi juga dapat menjadi ajang saling menghargai pendapat. Sebuah pelajaran demokrasi telah berlangsung di dalam kelas, karena di sana urusan benar-salah, tidak berlaku lantaran yang diutamakan adalah alasan di balik jawaban apa pun yang disampaikan peserta didik.
Konsekuensi model pengajaran seperti itu, menuntut guru pandai melakukan pilihan atas karya-karya yang baik dan bermutu. Di samping itu, soal evaluasi (ulangan harian atau ulangan semesteran) juga harus menghilangkan soal yang jawabannya memilih (A, B, C, D, atau E). Sudah saatnya pertanyaan seperti itu dibuang ke keranjang sampah.
Konsekuensi lainnya adalah kerja keras guru untuk mengoreksi jawaban-jawaban yang berupa esai. Bukankah guru (dan dosen) adalah tenaga profesional? Maka ia harus profesional pula menjalankan tugas dan peranannya. Apa pun alasan dan dasar pemikirannya, menurut hemat saya, soal-soal ulangan atau ujian yang di sana sudah tersedia jawabannya —A, B, C, D, dan E apalagi yang jawabannya B (benar) atau S (salah)— tidak membuat peserta didik berpikir kreatif. Bagaimana pelajaran keterampilan berbahasa (menulis dan membaca) dan kemampuan apresiasi sastra, klimaksnya (: ujian) dengan menjawab yang cenderung untung-untungan?
Kaitannya dengan KTSP jelas sudah! KTSP memberi kebebasan yang luas bagi pengembangan kreativitas guru dan peserta didik. Maka, pelajaran sastra yang utama adalah apresiasi, dan itu hanya mungkin dapat dilakukan jika guru dan siswa membaca karya sastra.19 Sejumlah karya sastra bertebaran di muka bumi ini, apalagi khazanah sastra tradisional semacam dongeng dan cerita rakyat. Mengapa khazanah sastra yang seperti itu tidak dimanfaatkan untuk pembelajaran sastra di sekolah? Sudah saatnya, guru menunjukkan keyakinan dan keberaniannya untuk menyampaikan bahan pengajaran yang menurutnya baik, sesuai, dan asyik. Bahwa di sana ada kurikulum, tokh KTSP telah memberi kelonggaran dan kebebasan untuk menerjemahkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Bukankah di sana ada pula muatan lokal dan bahan yang sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat?
Bahwa di sana menunggu makhluk menakutkan yang setiap saat bakal memangsa para peserta didik lewat apa yang disebut sebagai ujian nasional? Inilah bencana nasional berikutnya jika ujian nasional itu diperlakukan sebagai satu-satunya ukuran meluluskan peserta didik. Ujian Nasional, jika memang masih diperlukan, hanya berfungsi untuk memetakan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, dan bukan untuk menentukan lulus tidaknya peserta didik.
Akhirnya, mesti saya sampaikan bahwa kurikulum bukanlah kitab suci. Ia sekadar panduan yang penerjemahannya sangat bergantung pada guru. Jadi, biarkanlah guru mengembangkan kreativitasnya sendiri. Biarkanlah guru menerjemahkan sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, jika KTSP memang hendak dijalankan secara konsekuen, pemerintah perlu mempertimbangkan format ujian nasional yang tidak lagi menjadikannya sebagai alat satu-satunya meluluskan atau tidak meluluskan peserta didik. Sebaliknya, jika format ujian nasional tetap dijadikan ukuran satu-satunya kriteria bagi kelulusan siswa, maka semangatnya bertentangan, kontradiksi, berlawanan, bertolak belakang dengan KTSP! Demikianlah! ***

Catatan Akhir
1     Lihat butir B (Tujuan) dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendiidikan (KTSP).
2   Kurikulum Tingkat Satuan Pendiidikan (KTSP) dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah, karakteristik sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan karakteristik peserta didik. KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyusunannya dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi serta kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) –sebelumnya bernama Pusat Kurikulum (Puskur).
3     Mencermati semangat yang mendasari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), maka kurikulum ini sesungguhnya memberi peluang bagi guru dan sekolah di berbagai daerah untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan kondisi guru, siswa, komite sekolah, sekolah, dan keadaan masyarakat dan budaya setempat. Sedikitnya ada lima hal penting yang menjadi ciri KTSP, yaitu (1) KTSP bersifat fleksibel. Adanya semangat fleksibilitas ini tampak dari adanya kebebasan untuk menambahkan empat jam untuk mata pelajaran wajib atau mata pelajaran muatan lokal; (2) mengingat KTSP dikembangkan berdasarkan pertimbangan (a) satuan pendidikan, (b) potensi daerah, (c) kondisi sosial budaya setempat, dan (d) kondisi peserta didik, maka pihak guru dan sekolah dapat leluasa mengelola sendiri manajemen sekolah dan mengembangkan satuan pendidikan yang sesuai dengan kondisi sekolah, guru, dan peserta didik; (3) mengingat butir (2) tadi, maka KTSP menuntut kreativitas guru dan sekaligus juga mendorong peserta didik lebih aktif; (4) KTSP juga dikembangkan dengan prinsip diversifikasi, artinya sekolah dimungkinkan menjabarkan sendiri standar isi dan standar kompetensinya dengan memasukkan muatan lokal –propinsi, kabupaten/kota, dan lokal sekolah; (5) KTSP sejalan dengan konsep desentralisasi pendidikan dan manajemen berbasis sekolah (school-based management). Dengan demikian, sekolah dapat meningkatkan peran komite sekolah untuk kepentingan pengembangan satuan pendidikannya. Demikian juga, sekolah dapat bekerja sama dengan stakeholders pendidikan atau dengan organisasi kemasyarakatan atau organisasi profesi, dalam hal yang menyangkut manajemen sekolah, pengembangan muatan lokal, atau pengembangan kegiatan kurikuler.
4  Konon, pengembangan KTSP didasarkan pada upaya memaksimalkan fungsi dan peran strategis guru dan dosen yang meliputi: (a) penegakan hak dan kewajiban guru dan dosen sebagai tenaga profesional, (b) pembinaan dan pengembangan profesi guru dan dosen, (c) perlindungan hukum, (d) perlindungan profesi, dan (e) perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Jadi, guru dan dosen sebagai tenaga profesional mestinya bekerja secara profesional yang punya kesadaran untuk terus-menerus meningkatkan kinerja dan kualitas kerjanya, dan bukan menjalani tugas atau pekerjaan rutin yang tanpa usaha untuk mengembangkan diri. Kesadaran sebagai tenaga profesional inilah yang mestinya menjadi sikap dasar dan etos kerja setiap guru dan dosen. Dalam konteks itu pula slogan palsu: “Guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa” harus dikubur sedalam-dalamnya dan dicampakkan sekarang juga. Sebagai tenaga profesional, guru-dosen harus punya sikap dan harga sesuai dengan kompetensinya. Jadi, tunjangan kesejahteraan bagi guru-dosen mestinya menjadi prioritas utama jika memang guru-dosen dianggap sebagai tenaga profesional. Oleh karena itu, jika ada perubahan kurikulum, pemerintah berkewajiban meningkatkan kesejahteraan guru-dosen dalam setiap ada perubahan kurikulum. Janganlah ada kesan perubahan kurikulum sebagai proyek pemerintah pusat yang korbannya tidak lain adalah guru-guru dan dosen di berbagai daerah.
5  Kurikulum 1994 menghendaki guru lebih kreatif dan menjalankan peran pengajarannya di depan kelas sesuai dengan yang ditetapkan kurikulum. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menekankan bahwa yang lebih kreatif itu adalah peserta didik. Guru bertindak sebagai fasilitator. Dalam KTSP tuntutan agar guru lebih kreatif itu ditujukan dan berlaku juga pada peserta didik. Jadi KTSP seperti menggabungkan semangat yang melandasi Kurikulum 1994 dan Kurikulum Berbasis Kompetensi.
6     E. Mulyana beranggapan bahwa “kekurangpahaman guru dan penyelenggara pendidikan terhadap kurikulum bisa berakibat fatal terhadap hasil belajar peserta didik. Hal ini terbukti, ketika mereka dihadapkan pada ujian nasional. Mereka sering kelabakan, dan sering ketakutan, takut kalau-kalau peserta didik di sekolahnya tidak bisa mengerjakan soal-soal ujian dan tidak lulus.” (Dr. E. Mulyana, M.Pd., Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006, hlm. 5-6).
7   Dalam konteks itu, guru kelas atau guru yang mengajar mata pelajaran yang sama pada tingkat satuan pendidikan untuk satu sekolah atau kelompok sekolah diberi kebebasan untuk menyusun silabus sendiri yang pemberlakuannya ditentukan oleh Kepala Sekolah dan diketahui oleh komite sekolah dan dinas kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang pendidikan. Jadi kepada komite sekolah dan birokrat pendidikan di daerah masing-masing sifatnya pemberitahuan.
8     E. Mulyana, op. cit., hlm. 6. Diyakini bahwa untuk mengetahui keberhasilan pendidikan secara nasional, tidak dapat lain, kecuali harus diadakan ujian nasional. Ia menawarkan gagasan, bahwa untuk kepentingan pendidikan nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bisa dilakukan bukan dalam bentuk ujian, tetapi dalam bentuk penilaian nasional. Menurutnya, Ujian Nasional perlu diganti dengan Penilaian Nasional. Sayangnya, usulan penggantian nama dari Ujian Nasional menjadi Penilaian Nasional tidak disertai penjelasan yang terinci berkaitan dengan format, langkah-langkah, dan model soalnya. Sekadar pergantian nama, tanpa dibarengi dengan perubahan substansi dan paradigmanya, tentu saja hanya akan menghasilkan hal yang sama. Menurut hemat saya, ujian nasional atau apa pun namanya, mesti diperlakukan sekadar sebagai usaha untuk mengukur standar pendidikan nasional, dan bukan untuk menentukan kelulusan peserta didik.
9   E. Mulyana bahkan menegaskan agar Negara (Indonesia) tidak porak-poranda hanya karena penyelenggaraan pendidikan yang berbeda, dan jurang perbedaan ini hanya bisa ditutup dengan suatu sistem penilaian nasional, sehingga kita tahu mana yang harus ditambah dan mana yang harus dikurangi. Ibid., hlm. 6-7. Pandangan Mulyana tegas menyatakan bahwa ujian nasional —atau penilaian nasional, nama yang diusulkannya— adalah satu-satunya alat untuk mengukur standar pendidikan nasional.
10   Dalam KTSP nama pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sudah dikembalikan ke nama semula, yaitu pelajaran Bahasa Indonesia. Jadi, pelajaran sastra berada di bawah payung pelajaran Bahasa Indonesia. Meskipun muatan dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar pelajaran sastra relatif proporsional dengan pelajaran bahasa, dampaknya tetap saja akan sangat besar mengingat pelajaran sastra kembali hanya sebagai tempelan dalam pelajaran Bahasa Indonesia.
11 Berikut dikutip butiran yang ingin dicapai oleh standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia: (1) peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri; (2) guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar; (3) guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya; (4) orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan dan kesastraan di sekolah; (5) sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia; (6) daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.
12 Berikut dikutip enam tujuan pelajaran Bahasa Indonesia: agar peserta didik memiliki kemampuan dalam (1) berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan, maupun tulis, (2) menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, (3) memahami bahasa Indonesia dan (dapat) menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan, (4) menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual serta kematangan emosional dan sosial, (5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, (6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
13   Beberapa tahun yang lalu, Taufiq Ismail dkk. menyeleksi sejumlah buku bacaan wajib–novel, antologi puisi, antologi cerpen, karya terjemahan, dan esai untuk tingkat SD, SMP, dan SMA dalam sebuah lokakarya yang diselenggarakan Dikdasmen Diknas. Beberapa judul buku yang diusulkan dikirim ke perpustakaan di berbagai pelosok Tanah Air. Untuk satu judul buku dikirim 10 eksemplar. Untuk tingkat SMA judul buku yang ditawarkan berjumlah 50 judul yang dapat dipilih oleh masing-masing sekolah 25-30 judul lengkap dengan nama pengarang dan data publikasinya. Pencantuman 15 buku sastra dan nonsastra dalam KTSP memberi peluang bagi penerbit untuk menyodorkan buku terbitannya, meskipun kualitasnya rendah. Sebagai contoh, salah satu buku yang pernah menjadi buku wajib di SMA berupa buku sejarah sastra Indonesia yang ditulis oleh pengarang yang tidak terkenal dan diterbitkan oleh penerbit yang juga tidak jelas. Lebih buruk lagi, sejumlah keterangan dalam buku itu salah dan menyesatkan. Jadi adanya keterangan (dalam KTSP) “Pada akhir pendidikan di SMA/MA, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya 15 buku sastra dan nonsastra” memberi peluang adanya permainan yang tidak senonoh antara penerbit, pengarang, dan pihak sekolah.
14  Periksa kembali catatan kaki 11 dan 12.
15  Sutan Takdir Alisjahbana dalam resensinya yang dimuat Poedjangga Baroe, No. 11, Th. II, Mei 1934, hlm. 353—356, mengkritik buku tatabahasa C.A. Mees, Beknopte Maleische Grammatica. Dikatakannya bahwa buku itu ditujukan untuk orang Belanda yang belajar bahasa Melayu. Jadi tidak tepat jika buku itu digunakan untuk orang Indonesia yang belajar bahasa Melayu.
16   Sutan Takdir Alisjahbana, “Pengadjaran Bahasa” Poedjangga Baroe, No. 2, Th. I, Agoestoes 1933, hlm. 33—35.
17  Ibid., hlm. 35.
18   Pengalaman seorang guru bahasa Indonesia SMA di Jakarta kiranya patut direnungkan. Ketika ia sedang mengajar di depan kelas dengan materi satuan bahasa, salah seorang siswa bertanya, “Bapak, apa gunanya pelajaran ini jika nanti saya bekerja di sebuah bank atau perusahaan kontraktor? Apakah fonem dan morfem itu dapat membantu saya menghitung angka-angka atau kalkulasi untung-rugi?”
19   Bulan November 2006, saya diminta berceramah tentang teori dan kritik sastra di Sekolah Tunas Harapan Sentul. Tujuannya, agar para siswa dapat mengapresiasi karya sastra yang dianjurkan guru kelas. Sebelum memulai, saya bertanya kepada beberapa siswa tentang konsep-konsep, seperti alur, tokoh, dan lain-lain. Mereka dapat menjawab dengan sangat baik. Lalu, saya tanyakan lagi, buku-buku (novel, cerpen, puisi, atau drama) yang pernah dibaca mereka. Mereka pun menjawab dengan sangat meyakinkan. Ketika ditanya lagi, bagaimana mereka memahami alur, tokoh, dan konsep-konsep itu dalam karya yang sudah dibaca mereka itu. Tak ada yang bisa menjawab. Tetapi ketika saya tanya, bagaimana nasib yang menimpa tokoh A dalam novel itu, mengapa dia bernasib seperti itu, apa yang menyebabkannya, mengapa dalam novel itu masyarakat memperlakukan tokohnya seperti itu, adakah latar peristiwa itu mempengaruhi sikap masyarakatnya, bagus atau menarikkah karya itu, mengapa, adakah kelemahannya, dst. Ternyata beberapa siswa dapat menjawab panjang lebar. Siswa lain ada yang mendukung dan membantah. Terjadi perbedaan pendapat. Saya katakan, semuanya benar! Itulah apresiasi sastra.

Maman S. Mahayanalahir di Ci­re­bon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Menyelesaikan studinya di FSUI tahun1986, ke­mu­dian menjadi staf pengajar di almamaternya (kini Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia) hingga ki­ni. Merampungkan program pascasarjana di FIB-UI pada tahun 1997. Melakukan banyak penelitian bahasa dan sastra. Menulis di berbagai media dan jurnal ilmiah. Karya-karyanya anta­ra­ lain Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern (1992), Kesu­sastraan Malaysia Modern (1997), Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia (1997), Akar Melayu: Sistem Sastra & Konflik Ideologi di Indonesia & Malaysia (2001), 9 Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik (2005). Mantan ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta ini menyunting banyak buku. Sejak 1999, dia juga aktif mengisi pendidikan dan pelatihan sastra bagi guru bahasa dan sastra Indonesia di seluruh Indonesia. Pernah menjadi dosen tamu pada Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan (2009-2014).

Diambil dari : Horison Online (http://horisononline.or.id/id/esai/1294-apresiasi-sastra-indonesia-di-sekolah) 

Kamis, 29 Oktober 2015

Explore Tigakoma

Tentang Teater Untuk Pendidikan



Sebagai sebuah kelompok yang lahir di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muria Kudus, Teater Tigakoma memiliki slogan yang cukup berbeda dibandingkan kelompok teater umum lainnya. Teater yang dilahirkan pada 1 Syuro atau 20 Januari 2007 lalu itu memilih menggunakan tagline “Teater Untuk Pendidikan”.
Tentu saja, dengan keberanian mengatakan teater untuk pendidikan akan ada tanggung jawab yang melekat disana. Harus ada arah maupun prinsip untuk benar-benar bisa membawa teater tersebut bermanfaat untuk pendidikan.
Meski terkesan sepele, namun perkara itu tentu menjadi sesuatu yang penting untuk dipahami. Setidak-tidaknya, setiap anggota itu harus memahami apa korelasi dari teater dan pendidikan. Dan bagaimana teater itu bisa saling mendukung dengan pendidikan.
Untuk itulah tulisan ini coba dibuat untuk sedikit mengupas bagaimana teater dan pendidikan itu saling mengisi. Baik pendidikan secara harfiah maupun sisi teknis dari pelaksanaan pendidikan itu sendiri.
Seperti yang disebutkan dalam undang-undang sistem pendidikan nasional no. 20 tahun 2003 disebutkan pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Artinya, ada proses perkembangan karakter setiap insan individu dalam proses pendidikannya. Baik perkembangan dalam sistem keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia maupun ketrampilan itu sendiri.
Meski banyak yang beranggapan bahwa dunia kesenian khususnya teater identik dengan dunia hura-hura dan sulit diatur, namun sepertinya tidak semua anggapan itu benar adanya. Waryoto Giok, salah seorang pegiat teater di Kudus bahkan tegas mengatakan, setiap proses dalam berteater seharusnya juga turut disertai dengan perkembangan ke sisi positif.
Berteater itu sendiri banyak yang mengatakan harus didasarkan pada wirogo, wiroso dan wiromo. Wirogo itu sendiri diartikan pada pengolahan tubuh, wiromo dimaksudkan pada pengolahan irama atau lagu sedangkan wiroso lebih ditekankan pada pengolahan rasa yang dimiliki setiap insan manusia.
Untuk menguasai sisi wirogo, setiap pegiat teater tentu harus menempa tubuhnya terlebih dahulu. Mengenali setiap lekuk dari bagian tubuhnya. Sedangkan hal itu baru bisa dilakukan dengan serangkaian latihan fisik dan olah tubuh dengan waktu yang tidak instan pula.
Olah tubuh dalam teater itu sendiri tidak sebatas gerakan –gerakan kecil dalam mengekspresikan karakter yang dimainkan seorang pemain. Namun terkadang seorang aktor ditantang untuk bermain dengan gerakan ekstrem, gerakan tari, gerakan siluet, berdiri dalam jangka waktu lama, atau bahkan gerakan-gerakan beladiri. Padahal tantangan itu bisa saja berlaku tidak hanya untuk laki-laki namun juga bisa untuk perempuan.
Hal itulah yang lantas mewajibkan setiap pegiat teater untuk berlatih secara rutin. Kedisiplinan juga dibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Tentu saja seseorang yang masih memiliki sikap manja tentu akan sulit bertahan di teater dengan kerasnya tempaan semacam itu.
Dari sisi itu saja, disadari atau tidak maka sudah ada nilai perkembangan karakter disana. Terutama pada sisi keterampilan, pengendalian diri maupun penguasaan tubuh. Kesadaran untuk menjaga kesehatan tubuhnya tentu juga bisa didapatkan dari latihan tersebut.
Sedangkan disisi wirama, para pegiat teater dituntut untuk dapat memadupadankan berbagai hal untuk mendapatkan sebuah keharmonisan. Suatu irama yang baik dalam panggung pementasan.
Hal itu sama halnya dengan peningkatan kecerdasan dari seniman teater untuk pengkaryaannya. Seorang sutradara bahkan harus pandai-pandai menggabungkan setiap bakat maupun kelebihan yang ada di kelompoknya untuk disajikan menjadi tontonan yang indah.
Dari itu semua yang paling sulit biasanya justru terdapat pada wiroso atau pengolahan rasa dari setiap pegiat teater. Seorang aktor yang bermain tanpa rasa tentu seolah robot atau mayat hidup yang berjalan. Begitu pula seorang sutradara yang menggarap naskah tanpa pernah menggunakan rasa tentu juga akan menghasilkan karya yang hambar.
Dalam melatih tentang rasa, para pemain teater biasa menggunakan banyak cara. Mulai dari berlatih meditasi, observasi realita di masyarakat maupun melakukan evaluasi maupun diskusi-diskusi tentang tema sosial maupun keagamaan itu sendiri.
Lebih dari itu semua, jangan pernah melupakan bahwa setiap pelaku kesenian tentunya juga wajib peka memahami apa yang ada di lingkungannya. Baik terkait isu sosial kenegaraan maupun isu sederhana yang ada di sekitarnya. Seperti layaknya apa yang tercuplik dari puisi WS Rendra yang menyebutkan “Buat apa berkesenian bila jauh dari lingkungan”
Seperti halnya dalam memainkan sebuah lakon, tentu seorang aktor diharuskan untuk memahami karakter dari lakonnya itu. Tak sekedar karakter pemarah atau pemalu, lebih jauh dari itu, setiap aktor juga wajib tahu apa alasan karakter yang dimainkannya. Apakah menjadi pemarah atau pemalu atau karakter lainnya.
Dari situ saja, jika proses yang dilakukannya dengan baik, maka secara tidak langsung setiap aktor akan belajar kepribadian orang yang berbeda-beda. Padahal tidak semua perbedaan itu salah.
Ada karakter pemarah karena didasari trauma, ada yang menjadi pendiam setelah bertahun-tahun menjadi korban bulliying, maupun ada orang yang sepintas terlihat urakan lantaran kurang kasih sayang dari orang terdekatnya. Bila semua karakter itu hanya dilihat dari ego pribadi yang begitu berbeda dengan karakter tersebut maka tidak jarang bisa memunculkan permasalahan bahkan kebencian.
Namun jika memahami karakter memang terkadang harus berbeda, maka diharapkan mereka juga dapat lebih menghargai perbedaan maupun mensyukuri apa yang ada pada dirinya.
Di situlah perkembangan akhlak mulia, kekuatan spiritual keagamaan serta kepribadian manusia menjadi tantangan. Ketika ada perubahan ke arah yang baik tentu saja ada hasil dari sebuah proses berteater atau proses pendidikan itu sendiri. Namun jika hal itu tidak ada, mungkin evaluasi perlu dilakukan kembali.
Kembali lagi pada Teater TigakomA, sebuah nama yang dipilih itu tentunya juga tidak luput dari tempat dimana berasal dan apa pengharapan akan doa yang terselip didalamnya. Sebagai kelompok yang terlahir di fakultas keguruan, TigakomA diharapkan tidak meninggalkan dunia pendidikannya.
Pemilihan TigakomA itu sendiri dilakukan bukan lantaran mirip Teater Koma yang telah memiliki nama besar. Lebih sederhana, diharapkan anggotanya bisa mendapatkan indeks prestasi (IP) di bangku perkuliahannya minimal 3, atau nilai yang dianggap cukup baik.
Hal itu sendiri tentu menjadi pengingat bagi setiap anggota teater TigakomA untuk tidak mengesampingkan pendidikannya meskipun ditengah kesibukan berkesenian. Diharapkan bekal dari dunia pendidikan bisa dijadikan acuan berkesenian. Begitu pula bekal berteater juga diharapkan dapat menjadi penguat dalam dunia pendidikan. Khususnya ketika anggotanya nanti benar-benar menjadi seorang pendidik.
Tulisan ini tentu baru mampu menyentuh sedikit saja tentang apa korelasi teater untuk pendidikan. Bila ditelaah lebih mendalam pastilah masih begitu banyak hal yang bisa dikupas dari sebuah tema yang sederhana namun begitu bermakna tersebut.
Oleh karena itu, penulis juga memiliki rasa tertantang untuk menelisiknya lebih mendalam. Diharapkan tulisan ini mampu menjadi pancingan bagi insan manusia lainnya untuk ikut meramaikannya. Dan bukannya tulisan pertama dan terakhir.
Harus ada keberlanjutan. Pertanyaan, kritik, saran diperlukan. Terlebih berdiskusi untuk saling memahami. Karena bagi penulis sendiri proses belajar adalah tentang bagaimana kita memahami tentang kehidupan. Jangan pernah berhenti belajar, jangan berhenti berkesenian.


(beni dewa, pegiat Teater di Kudus dan Pati)