Kamis, 29 Oktober 2015

Explore Tigakoma

Tentang Teater Untuk Pendidikan



Sebagai sebuah kelompok yang lahir di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muria Kudus, Teater Tigakoma memiliki slogan yang cukup berbeda dibandingkan kelompok teater umum lainnya. Teater yang dilahirkan pada 1 Syuro atau 20 Januari 2007 lalu itu memilih menggunakan tagline “Teater Untuk Pendidikan”.
Tentu saja, dengan keberanian mengatakan teater untuk pendidikan akan ada tanggung jawab yang melekat disana. Harus ada arah maupun prinsip untuk benar-benar bisa membawa teater tersebut bermanfaat untuk pendidikan.
Meski terkesan sepele, namun perkara itu tentu menjadi sesuatu yang penting untuk dipahami. Setidak-tidaknya, setiap anggota itu harus memahami apa korelasi dari teater dan pendidikan. Dan bagaimana teater itu bisa saling mendukung dengan pendidikan.
Untuk itulah tulisan ini coba dibuat untuk sedikit mengupas bagaimana teater dan pendidikan itu saling mengisi. Baik pendidikan secara harfiah maupun sisi teknis dari pelaksanaan pendidikan itu sendiri.
Seperti yang disebutkan dalam undang-undang sistem pendidikan nasional no. 20 tahun 2003 disebutkan pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Artinya, ada proses perkembangan karakter setiap insan individu dalam proses pendidikannya. Baik perkembangan dalam sistem keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia maupun ketrampilan itu sendiri.
Meski banyak yang beranggapan bahwa dunia kesenian khususnya teater identik dengan dunia hura-hura dan sulit diatur, namun sepertinya tidak semua anggapan itu benar adanya. Waryoto Giok, salah seorang pegiat teater di Kudus bahkan tegas mengatakan, setiap proses dalam berteater seharusnya juga turut disertai dengan perkembangan ke sisi positif.
Berteater itu sendiri banyak yang mengatakan harus didasarkan pada wirogo, wiroso dan wiromo. Wirogo itu sendiri diartikan pada pengolahan tubuh, wiromo dimaksudkan pada pengolahan irama atau lagu sedangkan wiroso lebih ditekankan pada pengolahan rasa yang dimiliki setiap insan manusia.
Untuk menguasai sisi wirogo, setiap pegiat teater tentu harus menempa tubuhnya terlebih dahulu. Mengenali setiap lekuk dari bagian tubuhnya. Sedangkan hal itu baru bisa dilakukan dengan serangkaian latihan fisik dan olah tubuh dengan waktu yang tidak instan pula.
Olah tubuh dalam teater itu sendiri tidak sebatas gerakan –gerakan kecil dalam mengekspresikan karakter yang dimainkan seorang pemain. Namun terkadang seorang aktor ditantang untuk bermain dengan gerakan ekstrem, gerakan tari, gerakan siluet, berdiri dalam jangka waktu lama, atau bahkan gerakan-gerakan beladiri. Padahal tantangan itu bisa saja berlaku tidak hanya untuk laki-laki namun juga bisa untuk perempuan.
Hal itulah yang lantas mewajibkan setiap pegiat teater untuk berlatih secara rutin. Kedisiplinan juga dibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Tentu saja seseorang yang masih memiliki sikap manja tentu akan sulit bertahan di teater dengan kerasnya tempaan semacam itu.
Dari sisi itu saja, disadari atau tidak maka sudah ada nilai perkembangan karakter disana. Terutama pada sisi keterampilan, pengendalian diri maupun penguasaan tubuh. Kesadaran untuk menjaga kesehatan tubuhnya tentu juga bisa didapatkan dari latihan tersebut.
Sedangkan disisi wirama, para pegiat teater dituntut untuk dapat memadupadankan berbagai hal untuk mendapatkan sebuah keharmonisan. Suatu irama yang baik dalam panggung pementasan.
Hal itu sama halnya dengan peningkatan kecerdasan dari seniman teater untuk pengkaryaannya. Seorang sutradara bahkan harus pandai-pandai menggabungkan setiap bakat maupun kelebihan yang ada di kelompoknya untuk disajikan menjadi tontonan yang indah.
Dari itu semua yang paling sulit biasanya justru terdapat pada wiroso atau pengolahan rasa dari setiap pegiat teater. Seorang aktor yang bermain tanpa rasa tentu seolah robot atau mayat hidup yang berjalan. Begitu pula seorang sutradara yang menggarap naskah tanpa pernah menggunakan rasa tentu juga akan menghasilkan karya yang hambar.
Dalam melatih tentang rasa, para pemain teater biasa menggunakan banyak cara. Mulai dari berlatih meditasi, observasi realita di masyarakat maupun melakukan evaluasi maupun diskusi-diskusi tentang tema sosial maupun keagamaan itu sendiri.
Lebih dari itu semua, jangan pernah melupakan bahwa setiap pelaku kesenian tentunya juga wajib peka memahami apa yang ada di lingkungannya. Baik terkait isu sosial kenegaraan maupun isu sederhana yang ada di sekitarnya. Seperti layaknya apa yang tercuplik dari puisi WS Rendra yang menyebutkan “Buat apa berkesenian bila jauh dari lingkungan”
Seperti halnya dalam memainkan sebuah lakon, tentu seorang aktor diharuskan untuk memahami karakter dari lakonnya itu. Tak sekedar karakter pemarah atau pemalu, lebih jauh dari itu, setiap aktor juga wajib tahu apa alasan karakter yang dimainkannya. Apakah menjadi pemarah atau pemalu atau karakter lainnya.
Dari situ saja, jika proses yang dilakukannya dengan baik, maka secara tidak langsung setiap aktor akan belajar kepribadian orang yang berbeda-beda. Padahal tidak semua perbedaan itu salah.
Ada karakter pemarah karena didasari trauma, ada yang menjadi pendiam setelah bertahun-tahun menjadi korban bulliying, maupun ada orang yang sepintas terlihat urakan lantaran kurang kasih sayang dari orang terdekatnya. Bila semua karakter itu hanya dilihat dari ego pribadi yang begitu berbeda dengan karakter tersebut maka tidak jarang bisa memunculkan permasalahan bahkan kebencian.
Namun jika memahami karakter memang terkadang harus berbeda, maka diharapkan mereka juga dapat lebih menghargai perbedaan maupun mensyukuri apa yang ada pada dirinya.
Di situlah perkembangan akhlak mulia, kekuatan spiritual keagamaan serta kepribadian manusia menjadi tantangan. Ketika ada perubahan ke arah yang baik tentu saja ada hasil dari sebuah proses berteater atau proses pendidikan itu sendiri. Namun jika hal itu tidak ada, mungkin evaluasi perlu dilakukan kembali.
Kembali lagi pada Teater TigakomA, sebuah nama yang dipilih itu tentunya juga tidak luput dari tempat dimana berasal dan apa pengharapan akan doa yang terselip didalamnya. Sebagai kelompok yang terlahir di fakultas keguruan, TigakomA diharapkan tidak meninggalkan dunia pendidikannya.
Pemilihan TigakomA itu sendiri dilakukan bukan lantaran mirip Teater Koma yang telah memiliki nama besar. Lebih sederhana, diharapkan anggotanya bisa mendapatkan indeks prestasi (IP) di bangku perkuliahannya minimal 3, atau nilai yang dianggap cukup baik.
Hal itu sendiri tentu menjadi pengingat bagi setiap anggota teater TigakomA untuk tidak mengesampingkan pendidikannya meskipun ditengah kesibukan berkesenian. Diharapkan bekal dari dunia pendidikan bisa dijadikan acuan berkesenian. Begitu pula bekal berteater juga diharapkan dapat menjadi penguat dalam dunia pendidikan. Khususnya ketika anggotanya nanti benar-benar menjadi seorang pendidik.
Tulisan ini tentu baru mampu menyentuh sedikit saja tentang apa korelasi teater untuk pendidikan. Bila ditelaah lebih mendalam pastilah masih begitu banyak hal yang bisa dikupas dari sebuah tema yang sederhana namun begitu bermakna tersebut.
Oleh karena itu, penulis juga memiliki rasa tertantang untuk menelisiknya lebih mendalam. Diharapkan tulisan ini mampu menjadi pancingan bagi insan manusia lainnya untuk ikut meramaikannya. Dan bukannya tulisan pertama dan terakhir.
Harus ada keberlanjutan. Pertanyaan, kritik, saran diperlukan. Terlebih berdiskusi untuk saling memahami. Karena bagi penulis sendiri proses belajar adalah tentang bagaimana kita memahami tentang kehidupan. Jangan pernah berhenti belajar, jangan berhenti berkesenian.


(beni dewa, pegiat Teater di Kudus dan Pati)

Explore Tigakoma

Workshop 2015 Wajib Membekas!




        Minggu, 18 Oktober 2015 bertempat di taman Gedung K Universitas Muria Kudus nampak ada suatu pemandangan yang berbeda bagi Teater Tigakoma. Workshop anggota baru 2015 diadakan dengan konsep yang berbeda dari biasanya. Workshop kali ini dibuka oleh mas Agus Kriwil, salah satu pendiri Teater Tigakoma.
        Workshop 2015 sendiri diikuti sekitar 24 orang peserta yang seluruhnya merupakan calon anggota baru Teater Tigakoma 2015 atau angkatan ke-9. Dari seluruh peserta yang ada dibagi menjadi tiga RT (Rukun Tetangga), masing-masing kelompok sebelumnya telah memilih sebuah naskah untuk dipentaskan nantinya di malam puncak workshop yaitu 14 November 2015 sehingga mereka dapat mengimplementasikan secara langsung materi yang telah diberikan selama kurang lebih 1 bulan dalam kurun waktu yang berbeda mulai tanggal 18 Oktober – 14 November 2015. Diantara materi yang diberikan adalah manajemen, jurnalistik, kesastraan, artistic panggung, musik teater, keaktoran, penyutradaraan, latihan dasar dan ke-Tigakoma-an.
        “Workshop pada tahun ini teknisnya sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, kami mencoba menerapkan cara yang lebih efektif yaitu pematerian tidak dilakukan secara beruntun dalam satu rangkaian acara. Pematerian tersebut kami berikan setiap satu minggu sekali agar peserta dapat lebih meresapi materi yang telah diberikan. Pemateri kita datangkan dari pegiat seni teater di Kudus dan sekitarnya” ujar Zulfi Khanif selaku ketua panitia.
        Workshop sendiri merupakan pintu awal dan bekal bagi calon anggota untuk mendalami serta berproses di dunia teater. Tentunya dasar-dasar kesenian harus mereka pahami terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh, karena dalam dunia teater seseorang dituntut mempelajari beberapa dimensi kesenian yang berbeda sekaligus.


(Oemam)

Explore Tigakoma

WORKSHOP TEATER TIGAKOMA 2015:
Sarana Pengenalan Sekaligus Persiapan Dalam Berproses di Dunia Teater


        Proses seringkali dipandang sebagai suatu masa atau tahapan dalam mencipta suatu karya atau produk. Dalam ranah kesenian juga terdapat suatu proses yang harus dijalani oleh para seniman untuk dapat menghasilkan suatu karya, mulai dari tahapan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan. Seluruh tahapan yang ada harus dirancang dengan baik agar tujuan yang ingin dituju dapat tercapai pula.
        Dengan adanya tahapan proses yang sangat panjang dan tentunya tidak mudah, maka perlu diadakan suatu kegiatan yang ditujukan untuk mengenalkan dan mempersiapkan bagaimana proses yang terjadi kepada anggota suatu komunitas seni. Workshop merupakan salah satu sarana yang dapat digunakan untuk tujuan di atas, dimana menurut istilah workshop merupakan kegiatan yang di dalamnya terdapat pelatihan atau penyampaian materi secara intensif yang berguna untuk dapat memecahkan masalah yang sedang atau berpotensi akan terjadi.
        Di dalam workshop seringkali diberikan materi-materi atau pelatihan yang berkaitan dengan dunia keteateran, namun sayangnya materi yang diberikan terlalu luas/melebar dan terkesan tidak difokuskan pada program kerja yang akan dihadapi ke depannya. Akhirnya setelah peserta selesai mengikuti kegiatan workshop dan dihadapkan pada rentetan program kerja yang telah disepakati masih mengalami kesulitan yang tentunya akan berdampak pada hasil yang akan didapat.
        Untuk tahun ini, Teater Tigakoma mencoba mengubah cara pandang tentang pelaksanaan workshop. Pada waktu sebelumnya workshop hanya dianggap sebagai suatu cara untuk menambah keakraban diantara para anggota. Sedangkan kali ini, tanpa melupakan sisi keakraban, workshop juga ditambah pula dengan menjadikannya sebagai suatu sarana yang digunakan untuk mengkaji segala aspek yang berkaitan dengan seni pertunjukan. Konsep yang diterapkan yakni dengan memberikan materi kepada para anggota secara intensif atau lebih mendalam dengan waktu pematerian yang dilaksanakan dalam beberapa hari. Satu materi disampaikan dalam satu hari dan materi yang lain akan disampaikan di pertemuan berikutnya. Hal ini memiliki tujuan agar nantinya dalam menyelesaikan program kerja para anggota telah siap dikarenakan materi yang ada dapat dibahas secara mendalam dengan durasi penyampaian materi yang cukup.
        Selain diberikan materi, peserta workshop juga telah dibentuk menjadi tiga RT yang masing-masing telah diberikan naskah untuk nantinya dipentaskan dalam pentas aplikasi workshop pada acara malam puncak. Proses penggarapan naskah kurang lebih selama satu bulan. Apabila di tengah-tengah proses, peserta workshop menemui kebingungan atau kesulitan dalam menggarap naskah dapat ditanyakan saat pertemuan penyampaian materi kepada pemateri yang bersangkutan. Setelah mendapat materi atau jawaban atas kesulitan yang ditemui peserta akan dapat langsung mengaplikasikan materi tersebut dalam naskah bersama RT-nya masing-masing. Sehingga saat acara malam puncak atau malam pementasan peserta sudah siap dan berani untuk mementaskan naskah yang diproses selama mengikuti workshop.
        Pada umumnya kita telah mengetahui bahwa dalam komunitas seringkali tidak hanya prinsip profesionalitas saja yang ditinggikan namun juga ada sisi-sisi persaudaraan dan adanya usaha untuk menjaga tradisi baik dalam komunitas. Begitu pula seluruh panitia kegiatan workshop Teater Tigakoma 2015 ini bukan bermaksud untuk menghilangkan atau menentang tradisi yang sudah ada dan menggantinya dengan suatu pemikiran baru yang terkesan “asal-asalan” atau tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap komunitas. Justru seluruh panitia yang terlibat telah memikirkan bagaimana konsep yang efektif dan tepat untuk digunakan pada saat ini dengan menambah perhatian pada materi yang diberikan namun juga tidak meninggalkan sisi-sisi persaudaraan dan keakraban yang harus tetap dijalin sampai kapan pun. Perbedaan yang ada hanya sesi-sesi dalam workshop yang disusun sedemikian rupa sehingga akan lebih memberikan hasil yang maksimal. Pada muaranya seluruh konsep yang telah dirancang  memiliki tujuan untuk dapat menghasilkan para pengurus dan anggota komunitas yang benar-benar siap untuk berproses dalam dunia kesenian, khusunya seni teater.

(Muh. Helmi Aditia)

Divisi Rumah Tangga

Antara Profesionalisme dan “Rasa” Dalam Berorganisasi,
Manakah yang Harus Didahulukan?       




        Dalam kaitannya sebagai makhluk sosial, manusia melakukan interaksi dengan  manusia lain untuk dapat memenuhi kodratnya sebagai zoon politicon. Manusia tidak bisa hidup tanpa adanya bantuan dari manusia lain. Dalam hal ini akan menimbulkan suatu pola ketergantungan yang menyebabkan manusia saling berinteraksi. Dari adanya pola-pola interaksi yang terjadi manusia akan hidup berkelompok sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki.
       Sejak zaman dahulu melalui kelompok-kelompok yang terbentuk, manusia melakukan aktivitas yang ditujukan untuk memenuhi segala macam kebutuhannya. Baik kebutuhan fisik maupun emosi yang tentunya harus dapat dilakukan secara bersama-sama dan tidak menimbulkan suatu kekecewaan. Kelompok-kelompok tersebut pada zaman modern sering disebut dengan kata organisasi (organon :Yunani) yang dapat berarti suatu tempat atau wadah bagi orang-orang untuk berkumpul, bekerjasama secara rasional dan sistematis, terencana, terpimpin dan terkendali, dalam memanfaatkan sumber daya, sarana-prasarana, data, dan lain sebagainya yang digunakan secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan organisasi.
   Bicara tentang organisasi, kita juga tidak akan bisa melupakan kata manajemen. Dimana manajemen merupakan unsur terpenting dari sebuah organisasi. Manajemen dapat diartikan sebagai suatu cara untuk menyelesaikan pekerjaan atau tugas yang ada melalui kerjasama dengan orang banyak. Jika sebuah manajemen yang dilakukan organisasi itu buruk, maka bisa saja tujuan yang diharapkan tidak akan pernah berhasil.
     Berhasil atau tidaknya suatu sistem yang telah disepakati dalam organisasi juga tidak dapat terlepas dari manusia yang tergabung dalam struktur suatu organisasi. Kualitas yang dimiliki oleh setiap manusia pasti berbeda-beda namun untuk mencapai tujuan yang telah disepakati sebagai seorang manusia yang berpendidikan paling tidak kita harus dapat mengatur diri sendiri untuk kemudian dapat bertugas secara profesional dalam organisasi.
        Profesionalisme terkadang menjadi suatu kata-kata impian yang hanya diketahui dan terkesan sangat sulit untuk dilakukan. Padahal bila kita berkemauan untuk bekerja secara profesional dalam organisasi maka hal itu dapat memberikan dampak positif bagi diri kita sendiri. Bukan hanya menjadi angan-angan tak jelas, namun bila diawali dengan niat yang benar dari masing-masing individu maka perilaku profesional itu akan terwujud dengan baik dan berkesinambungan.
        Mengingat tentang profesionalisme, kita juga pasti pernah mengalami hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya. Seringkali hambatan yang ditemui berupa masalah tanggung jawab yang terkesan saling lempar dan saling tidak memperdulikan sehingga jalannya sistem menjadi rumit dan terlihat tidak jelas. Ketika kita dihadapkan pada kondisi yang seperti ini sepatutnya kita saling mengingatkan agar kesalahan yang terjadi dapat segera diperbaiki. Namun kenyataannya dengan adanya keakraban dan rasa kekeluargaan yang terbentuk, tiap orang memiliki persepsi yang berbeda dan cenderung salah dalam hal mengartikan rasa akrab dan kekeluargaan itu. Sehingga fenomena penyepelean tanggung jawab seperti sudah menjadi suatu kebiasaan yang kita temui.
        Penyepelean-penyepelean itu lambat laun berubah menjadi ciri khas dan sepertinya tak ingin ada perubahan terhadapnya. Entah karena memang sudah nyaman dengan sistem “saling lempar tanggung jawab” ataukah ada suatu hal yang harus ditawar ketika di awal sudah disepakati semua peraturan dan tanggung jawab yang ada. Misalkan dengan adanya tugas-tugas akademis yang mengantri, urusan intern keluarga yang dijadikan alasan dan sebagainya yang paling tidak harus dapat kita kondisikan dalam kadar waktu yang tidak berlarut-larut.
        Memang tidak mudah merubah suatu kebiasaan lama yang dianggap selalu benar menjadi suatu kebiasaan baru yang sepintas tidak menawarkan keuntungan apa-apa bahkan ada yang mengatakan hanya suatu praktek coba-coba. Namun sebagai orang terpelajar akankah kita mau terperangkap dalam kebiasaan lama seperti ini yang cenderung selalu mengandalkan kata “rasa” dalam menerangkan alasan-alasan sehingga kita terselamatkan dari tugas dan tanggung jawab organisasi yang sudah diberikan kepada kita?

        Pikiran yang bijak berkaitan dengan soal profesional dan kata “rasa” dalam pelaksanaan tugas suatu organisasi yakni bukan tentang “rasa” akrab yang ada akan membuat kita selalu menyepelekan tugas dan akhirnya kita akan menggantungkan diri pada orang lain dalam urusan tersebut, melainkan dengan adanya “rasa” kita akan menerapkan sikap profesionalisme dan tanggung jawab, agar tidak ada kejadian saling mengecewakan dalam sebuah organisasi.

(Muh. Helmi Aditia)


Rabu, 14 Oktober 2015

Divisi Peran dan Keartistikan

Latihan Perdana, Kesan Mengena!
         


Salam Budaya !!
        “…. Menggenggam ombak samudera, lahirkan satu matahari.
        Belajar dari alam raya, demi cipta, rasa dan karsa. ….”

Latihan perdana rasanya tidak lengkap jika hanya diisi dengan rutinitas biasa, tentunya harus ada suatu kegiatan yang nantinya akan menimbulkan kesan mendalam bagi anggota baru Teater Tigakoma untuk bisa bertahan dalam proses "mengolah rasa" lebih lama. Hal ini sejalan dengan berbagai kegiatan yang diterapkan dan telah menjadi budaya pada setiap latihan perdana dengan anggota baru, kegiatan tersebut diantaranya perkenalan baik anggota baru maupun pengurus harian teater, juga dari yang "tua" sampai yang "muda", baik yang aktif maupun pasif. Perkenalan ini tentu jadi momen yang asik karena berbagai karakter manusia-manusia baru teater Tigakoma bertambah lebih bervariasi dan tidak jarang ada satu atau dua orang yang paling unik, nyentrik, maupun "tengik" hehe.



Setelah perkenalan tentu saja langsung latihan dasar. Diantaranya adalah pemanasan (para anggota baru langsung diajak lari-lari kecil mengitari kampus dalam keadaan siang bolong) selanjutnya adalah olah vokal kemudian olah konsentrasi. Tentu saja ini menjadi pengalaman baru bagi anggota baru yang sebelumnya belum pernah mengikuti kegiatan teater. Beberapa dari mereka ditanya bagaimana tanggapannya soal olah vokal dan olah konsentrasi mereka menjawab: asik, seru, capek, lucu, aneh dan sebagainya.
Setelah latihan anggota baru dibagi dalam kelompok kecil yang berjumlah 5-6 orang, setiap kelompok didampingi oleh mas dan mbak dari Tigakoma (senior) guna lebih mendekatkan satu sama lain. Disini mereka bercerita berbagai hal juga tak jarang mereka bertanya tentang Tigakoma itu sendiri seperti apa dalam kebiasaannya.



Pada tahun ini memang berbeda dari tahun sebelumnya, dimana untuk pendaftar bisa mencapai 50 sampai 80-an orang setiap tahunnya, namun untuk tahun ini hanya 35 orang saja. Tapi bagi Tigakoma justru hal ini dijadikan sebagai motivasi lebih untuk berproses lebih mendarah dan mendaging bersama-sama. (Oemam)

“…. Semoga Tuhan ridhai kita, melantunkan damai kasih sesama.”

        Teater untuk pendidikan, Tigakoma Yess !!

Minggu, 11 Oktober 2015

Explore Tigakoma

“Menuju Kebahagiaan” Meriahkan Panggung SAPAMABA FKIP UMK

        Salam Budaya !!
        “…. Menggenggam ombak samudera, lahirkan satu matahari.
        Belajar dari alam raya, demi cipta, rasa dan karsa. ….”

        Seni pertunjukan merupakan suatu bentuk karya seni yang dipertunjukkan dan melibatkan aksi individu atau kelompok di tempat dan waktu tertentu. Seni pertunjukan hadir dikarenakan kebutuhan masyarakat yang tidak hanya sebatas sarana ritual saja, tetapi juga sebagai hal terpenting dalam adat masyarakat. Selain itu hasrat dan keinginan manusia untuk menyaksikan pertunjukan yang dipergelarkan oleh orang lain, serta keinginan dari para seniman untuk disaksikan dan dan menggelarkan hasil karya mereka.
Pada hari Minggu, 6 September 2015 Teater Tigakoma mementaskan suatu lakon yang berjudul “Menuju Kebahagiaan” karya Teater Tigakoma dengan sangat baik dan menghibur. Pentas ini dilakukan di dalam aula Masjid Darul Ilmi UMK dengan durasi selama kurang lebih satu jam. Pentas tersebut tercatat menjadi pentas terlama dalam acara SAPAMABA (Masa Pengenalan Mahasiswa Baru) karena selama ini hanya rata-rata 30-45 menit saja.
        Acara pementasan dengan judul “Menuju Kebahagiaan” ini berjalan sangat baik dengan alur cerita yang mengangkat tentang sisi perjuangan dalam hidup seorang pegiat seni. Dengan pengaturan blocking pada pemain yang tersebar di area penonton (Mahasiswa baru FKIP UMK) menjadikan pementasan lebih seru dan penonton dapat ikut langsung berinteraksi / ikut berperan dalam pementasan. Akhir cerita ditunjukkan dengan tokoh “seniman” yang meski harus menghadapi kehancuran dalam rumah tangganya lalu kemudian bertekad dengan total untuk berkarya dalam hidupnya untuk mencapai pada sebuah kebahagiaan.
        Tujuan diadakannya pementasan dalam acara SAPAMABA ini selain untuk menghibur, ingin memperkenalkan cabang seni yakni seni pertunjukan kepada para mahasiswa baru FKIP UMK dan juga untuk mempertahankan eksistensi yang telah dibangun selama ini. Dengan kesenian kita dapat pula menyampaikan pembelajaran hidup dengan kemasan yang indah dan komunikatif. Dalam kesempatan kali ini, Teater Tigakoma sebagai wadah untuk berkesenian yang ada di lingkup FKIP UMK juga mengumumkan kepada semua mahasiswa baru untuk ikut bergabung dan berproses dalam kesenian. Selain sebagai pengisi waktu luang, kegiatan yang dimiliki Teater Tigakoma juga dapat dijadikan sebagai penyegar suasana di tengah-tengah kejenuhan yang timbul selama perkuliahan di kampus nantinya. Dengan ikut bergabung, diharapkan nantinya semua anggota dapat memiliki pengalaman yang dapat bermanfaat baginya kelak dari pengalaman ikut pementasan dan perlombaan seni, pengalaman kepanitiaan kegiatan, pencarian dana sponshorship, dan sebagainya.
               
“…. Semoga Tuhan ridhai kita, melantunkan damai kasih sesama.”
        Teater untuk pendidikan, Tigakoma Yess !!

Oleh Muh. Helmi Aditia