Tentang Teater Untuk Pendidikan
Sebagai sebuah kelompok yang lahir di Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muria Kudus, Teater Tigakoma memiliki slogan yang cukup berbeda
dibandingkan kelompok teater umum lainnya. Teater yang dilahirkan pada 1 Syuro
atau 20 Januari 2007 lalu itu memilih menggunakan tagline “Teater Untuk Pendidikan”.
Tentu saja, dengan keberanian mengatakan
teater untuk pendidikan akan ada tanggung jawab yang melekat disana. Harus ada
arah maupun prinsip untuk benar-benar bisa membawa teater tersebut bermanfaat
untuk pendidikan.
Meski terkesan sepele, namun perkara itu tentu
menjadi sesuatu yang penting untuk dipahami. Setidak-tidaknya, setiap anggota
itu harus memahami apa korelasi dari teater dan pendidikan. Dan bagaimana
teater itu bisa saling mendukung dengan pendidikan.
Untuk itulah tulisan ini coba dibuat untuk
sedikit mengupas bagaimana teater dan pendidikan itu saling mengisi. Baik
pendidikan secara harfiah maupun sisi teknis dari pelaksanaan pendidikan itu
sendiri.
Seperti yang disebutkan dalam undang-undang
sistem pendidikan nasional no. 20 tahun 2003 disebutkan pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan
masyarakat.
Artinya, ada
proses perkembangan karakter setiap insan individu dalam proses pendidikannya. Baik perkembangan dalam sistem keagamaan,
pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia maupun ketrampilan itu sendiri.
Meski banyak
yang beranggapan bahwa dunia kesenian khususnya teater identik dengan dunia
hura-hura dan sulit diatur, namun sepertinya tidak semua anggapan itu benar
adanya. Waryoto Giok, salah seorang pegiat teater di Kudus bahkan tegas
mengatakan, setiap proses dalam berteater seharusnya juga turut disertai dengan
perkembangan ke sisi positif.
Berteater itu
sendiri banyak yang mengatakan harus didasarkan pada wirogo, wiroso dan wiromo.
Wirogo itu sendiri diartikan pada pengolahan tubuh, wiromo dimaksudkan pada
pengolahan irama atau lagu sedangkan wiroso lebih ditekankan pada pengolahan
rasa yang dimiliki setiap insan manusia.
Untuk menguasai
sisi wirogo, setiap pegiat teater tentu harus menempa tubuhnya terlebih dahulu.
Mengenali setiap lekuk dari bagian tubuhnya. Sedangkan hal itu baru bisa
dilakukan dengan serangkaian latihan fisik dan olah tubuh dengan waktu yang
tidak instan pula.
Olah tubuh
dalam teater itu sendiri tidak sebatas gerakan –gerakan kecil dalam mengekspresikan karakter yang dimainkan seorang pemain.
Namun terkadang seorang aktor ditantang untuk bermain dengan gerakan ekstrem,
gerakan tari, gerakan siluet, berdiri dalam jangka waktu lama, atau bahkan
gerakan-gerakan beladiri. Padahal tantangan itu bisa saja berlaku tidak hanya
untuk laki-laki namun juga bisa untuk perempuan.
Hal itulah yang
lantas mewajibkan setiap pegiat teater untuk berlatih secara rutin.
Kedisiplinan juga dibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Tentu saja
seseorang yang masih memiliki sikap manja tentu akan sulit bertahan di teater dengan
kerasnya tempaan semacam itu.
Dari sisi itu
saja, disadari atau tidak maka sudah ada nilai perkembangan karakter disana.
Terutama pada sisi keterampilan,
pengendalian diri maupun penguasaan tubuh. Kesadaran untuk menjaga kesehatan
tubuhnya tentu juga bisa didapatkan dari latihan tersebut.
Sedangkan
disisi wirama, para pegiat teater dituntut untuk dapat memadupadankan berbagai
hal untuk mendapatkan sebuah keharmonisan. Suatu irama yang baik dalam panggung
pementasan.
Hal itu sama
halnya dengan peningkatan kecerdasan dari seniman teater untuk pengkaryaannya.
Seorang sutradara bahkan harus pandai-pandai menggabungkan setiap bakat maupun
kelebihan yang ada di kelompoknya untuk disajikan menjadi tontonan yang indah.
Dari itu semua
yang paling sulit biasanya justru terdapat pada wiroso atau pengolahan rasa
dari setiap pegiat teater. Seorang aktor yang bermain tanpa rasa tentu seolah
robot atau mayat hidup yang berjalan. Begitu pula seorang sutradara yang
menggarap naskah tanpa pernah menggunakan rasa tentu juga akan menghasilkan
karya yang hambar.
Dalam melatih
tentang rasa, para pemain teater biasa menggunakan banyak cara. Mulai dari
berlatih meditasi, observasi realita di masyarakat maupun melakukan evaluasi
maupun diskusi-diskusi tentang tema sosial maupun keagamaan itu sendiri.
Lebih dari itu
semua, jangan pernah melupakan bahwa setiap pelaku kesenian tentunya juga wajib
peka memahami apa yang ada di lingkungannya. Baik terkait isu sosial kenegaraan
maupun isu sederhana yang ada di sekitarnya. Seperti layaknya apa yang
tercuplik dari puisi WS Rendra yang menyebutkan “Buat apa berkesenian bila jauh
dari lingkungan”
Seperti halnya
dalam memainkan sebuah lakon, tentu seorang aktor diharuskan untuk memahami
karakter dari lakonnya itu. Tak sekedar karakter pemarah atau pemalu, lebih
jauh dari itu, setiap aktor juga wajib tahu apa alasan karakter yang dimainkannya.
Apakah menjadi pemarah atau pemalu
atau karakter lainnya.
Dari situ saja,
jika proses yang dilakukannya dengan baik, maka secara tidak langsung setiap
aktor akan belajar kepribadian orang yang berbeda-beda. Padahal tidak semua
perbedaan itu salah.
Ada karakter
pemarah karena didasari trauma, ada yang menjadi pendiam setelah bertahun-tahun
menjadi korban bulliying, maupun ada
orang yang sepintas terlihat urakan lantaran kurang kasih sayang dari orang
terdekatnya. Bila semua karakter itu hanya dilihat dari ego pribadi yang begitu
berbeda dengan karakter tersebut maka tidak jarang bisa memunculkan
permasalahan bahkan kebencian.
Namun jika
memahami karakter memang terkadang harus berbeda, maka diharapkan mereka juga
dapat lebih menghargai perbedaan maupun mensyukuri apa yang ada pada dirinya.
Di situlah
perkembangan akhlak mulia, kekuatan spiritual keagamaan serta kepribadian
manusia menjadi tantangan. Ketika ada perubahan ke arah yang baik tentu saja
ada hasil dari sebuah proses berteater atau proses pendidikan itu sendiri.
Namun jika hal itu tidak ada, mungkin evaluasi perlu dilakukan kembali.
Kembali lagi
pada Teater TigakomA, sebuah nama yang dipilih itu tentunya juga tidak luput
dari tempat dimana berasal dan apa pengharapan akan doa yang terselip
didalamnya. Sebagai kelompok yang terlahir di fakultas keguruan, TigakomA
diharapkan tidak meninggalkan dunia pendidikannya.
Pemilihan
TigakomA itu sendiri dilakukan bukan lantaran mirip Teater Koma yang telah
memiliki nama besar. Lebih sederhana, diharapkan anggotanya bisa mendapatkan indeks prestasi
(IP) di bangku perkuliahannya minimal 3, atau nilai yang dianggap cukup baik.
Hal itu sendiri
tentu menjadi pengingat bagi setiap anggota teater TigakomA untuk tidak
mengesampingkan pendidikannya meskipun ditengah kesibukan berkesenian.
Diharapkan bekal dari dunia pendidikan bisa dijadikan acuan berkesenian. Begitu
pula bekal berteater juga diharapkan dapat menjadi penguat dalam dunia
pendidikan. Khususnya ketika anggotanya nanti benar-benar menjadi seorang
pendidik.
Tulisan ini
tentu baru mampu menyentuh sedikit saja tentang apa korelasi teater untuk
pendidikan. Bila ditelaah lebih mendalam pastilah masih begitu banyak hal yang
bisa dikupas dari sebuah tema yang sederhana namun begitu bermakna tersebut.
Oleh karena
itu, penulis juga memiliki rasa tertantang untuk menelisiknya lebih mendalam.
Diharapkan tulisan ini mampu menjadi pancingan bagi insan manusia lainnya untuk
ikut meramaikannya. Dan bukannya tulisan pertama dan terakhir.
Harus ada
keberlanjutan. Pertanyaan, kritik, saran diperlukan. Terlebih berdiskusi untuk
saling memahami. Karena bagi penulis sendiri proses belajar adalah tentang
bagaimana kita memahami tentang kehidupan. Jangan pernah berhenti belajar,
jangan berhenti berkesenian.
(beni dewa, pegiat Teater di Kudus dan Pati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar