Kamis, 29 Oktober 2015

Explore Tigakoma

Tentang Teater Untuk Pendidikan



Sebagai sebuah kelompok yang lahir di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muria Kudus, Teater Tigakoma memiliki slogan yang cukup berbeda dibandingkan kelompok teater umum lainnya. Teater yang dilahirkan pada 1 Syuro atau 20 Januari 2007 lalu itu memilih menggunakan tagline “Teater Untuk Pendidikan”.
Tentu saja, dengan keberanian mengatakan teater untuk pendidikan akan ada tanggung jawab yang melekat disana. Harus ada arah maupun prinsip untuk benar-benar bisa membawa teater tersebut bermanfaat untuk pendidikan.
Meski terkesan sepele, namun perkara itu tentu menjadi sesuatu yang penting untuk dipahami. Setidak-tidaknya, setiap anggota itu harus memahami apa korelasi dari teater dan pendidikan. Dan bagaimana teater itu bisa saling mendukung dengan pendidikan.
Untuk itulah tulisan ini coba dibuat untuk sedikit mengupas bagaimana teater dan pendidikan itu saling mengisi. Baik pendidikan secara harfiah maupun sisi teknis dari pelaksanaan pendidikan itu sendiri.
Seperti yang disebutkan dalam undang-undang sistem pendidikan nasional no. 20 tahun 2003 disebutkan pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Artinya, ada proses perkembangan karakter setiap insan individu dalam proses pendidikannya. Baik perkembangan dalam sistem keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia maupun ketrampilan itu sendiri.
Meski banyak yang beranggapan bahwa dunia kesenian khususnya teater identik dengan dunia hura-hura dan sulit diatur, namun sepertinya tidak semua anggapan itu benar adanya. Waryoto Giok, salah seorang pegiat teater di Kudus bahkan tegas mengatakan, setiap proses dalam berteater seharusnya juga turut disertai dengan perkembangan ke sisi positif.
Berteater itu sendiri banyak yang mengatakan harus didasarkan pada wirogo, wiroso dan wiromo. Wirogo itu sendiri diartikan pada pengolahan tubuh, wiromo dimaksudkan pada pengolahan irama atau lagu sedangkan wiroso lebih ditekankan pada pengolahan rasa yang dimiliki setiap insan manusia.
Untuk menguasai sisi wirogo, setiap pegiat teater tentu harus menempa tubuhnya terlebih dahulu. Mengenali setiap lekuk dari bagian tubuhnya. Sedangkan hal itu baru bisa dilakukan dengan serangkaian latihan fisik dan olah tubuh dengan waktu yang tidak instan pula.
Olah tubuh dalam teater itu sendiri tidak sebatas gerakan –gerakan kecil dalam mengekspresikan karakter yang dimainkan seorang pemain. Namun terkadang seorang aktor ditantang untuk bermain dengan gerakan ekstrem, gerakan tari, gerakan siluet, berdiri dalam jangka waktu lama, atau bahkan gerakan-gerakan beladiri. Padahal tantangan itu bisa saja berlaku tidak hanya untuk laki-laki namun juga bisa untuk perempuan.
Hal itulah yang lantas mewajibkan setiap pegiat teater untuk berlatih secara rutin. Kedisiplinan juga dibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Tentu saja seseorang yang masih memiliki sikap manja tentu akan sulit bertahan di teater dengan kerasnya tempaan semacam itu.
Dari sisi itu saja, disadari atau tidak maka sudah ada nilai perkembangan karakter disana. Terutama pada sisi keterampilan, pengendalian diri maupun penguasaan tubuh. Kesadaran untuk menjaga kesehatan tubuhnya tentu juga bisa didapatkan dari latihan tersebut.
Sedangkan disisi wirama, para pegiat teater dituntut untuk dapat memadupadankan berbagai hal untuk mendapatkan sebuah keharmonisan. Suatu irama yang baik dalam panggung pementasan.
Hal itu sama halnya dengan peningkatan kecerdasan dari seniman teater untuk pengkaryaannya. Seorang sutradara bahkan harus pandai-pandai menggabungkan setiap bakat maupun kelebihan yang ada di kelompoknya untuk disajikan menjadi tontonan yang indah.
Dari itu semua yang paling sulit biasanya justru terdapat pada wiroso atau pengolahan rasa dari setiap pegiat teater. Seorang aktor yang bermain tanpa rasa tentu seolah robot atau mayat hidup yang berjalan. Begitu pula seorang sutradara yang menggarap naskah tanpa pernah menggunakan rasa tentu juga akan menghasilkan karya yang hambar.
Dalam melatih tentang rasa, para pemain teater biasa menggunakan banyak cara. Mulai dari berlatih meditasi, observasi realita di masyarakat maupun melakukan evaluasi maupun diskusi-diskusi tentang tema sosial maupun keagamaan itu sendiri.
Lebih dari itu semua, jangan pernah melupakan bahwa setiap pelaku kesenian tentunya juga wajib peka memahami apa yang ada di lingkungannya. Baik terkait isu sosial kenegaraan maupun isu sederhana yang ada di sekitarnya. Seperti layaknya apa yang tercuplik dari puisi WS Rendra yang menyebutkan “Buat apa berkesenian bila jauh dari lingkungan”
Seperti halnya dalam memainkan sebuah lakon, tentu seorang aktor diharuskan untuk memahami karakter dari lakonnya itu. Tak sekedar karakter pemarah atau pemalu, lebih jauh dari itu, setiap aktor juga wajib tahu apa alasan karakter yang dimainkannya. Apakah menjadi pemarah atau pemalu atau karakter lainnya.
Dari situ saja, jika proses yang dilakukannya dengan baik, maka secara tidak langsung setiap aktor akan belajar kepribadian orang yang berbeda-beda. Padahal tidak semua perbedaan itu salah.
Ada karakter pemarah karena didasari trauma, ada yang menjadi pendiam setelah bertahun-tahun menjadi korban bulliying, maupun ada orang yang sepintas terlihat urakan lantaran kurang kasih sayang dari orang terdekatnya. Bila semua karakter itu hanya dilihat dari ego pribadi yang begitu berbeda dengan karakter tersebut maka tidak jarang bisa memunculkan permasalahan bahkan kebencian.
Namun jika memahami karakter memang terkadang harus berbeda, maka diharapkan mereka juga dapat lebih menghargai perbedaan maupun mensyukuri apa yang ada pada dirinya.
Di situlah perkembangan akhlak mulia, kekuatan spiritual keagamaan serta kepribadian manusia menjadi tantangan. Ketika ada perubahan ke arah yang baik tentu saja ada hasil dari sebuah proses berteater atau proses pendidikan itu sendiri. Namun jika hal itu tidak ada, mungkin evaluasi perlu dilakukan kembali.
Kembali lagi pada Teater TigakomA, sebuah nama yang dipilih itu tentunya juga tidak luput dari tempat dimana berasal dan apa pengharapan akan doa yang terselip didalamnya. Sebagai kelompok yang terlahir di fakultas keguruan, TigakomA diharapkan tidak meninggalkan dunia pendidikannya.
Pemilihan TigakomA itu sendiri dilakukan bukan lantaran mirip Teater Koma yang telah memiliki nama besar. Lebih sederhana, diharapkan anggotanya bisa mendapatkan indeks prestasi (IP) di bangku perkuliahannya minimal 3, atau nilai yang dianggap cukup baik.
Hal itu sendiri tentu menjadi pengingat bagi setiap anggota teater TigakomA untuk tidak mengesampingkan pendidikannya meskipun ditengah kesibukan berkesenian. Diharapkan bekal dari dunia pendidikan bisa dijadikan acuan berkesenian. Begitu pula bekal berteater juga diharapkan dapat menjadi penguat dalam dunia pendidikan. Khususnya ketika anggotanya nanti benar-benar menjadi seorang pendidik.
Tulisan ini tentu baru mampu menyentuh sedikit saja tentang apa korelasi teater untuk pendidikan. Bila ditelaah lebih mendalam pastilah masih begitu banyak hal yang bisa dikupas dari sebuah tema yang sederhana namun begitu bermakna tersebut.
Oleh karena itu, penulis juga memiliki rasa tertantang untuk menelisiknya lebih mendalam. Diharapkan tulisan ini mampu menjadi pancingan bagi insan manusia lainnya untuk ikut meramaikannya. Dan bukannya tulisan pertama dan terakhir.
Harus ada keberlanjutan. Pertanyaan, kritik, saran diperlukan. Terlebih berdiskusi untuk saling memahami. Karena bagi penulis sendiri proses belajar adalah tentang bagaimana kita memahami tentang kehidupan. Jangan pernah berhenti belajar, jangan berhenti berkesenian.


(beni dewa, pegiat Teater di Kudus dan Pati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar