Kamis, 29 Oktober 2015

Divisi Rumah Tangga

Antara Profesionalisme dan “Rasa” Dalam Berorganisasi,
Manakah yang Harus Didahulukan?       




        Dalam kaitannya sebagai makhluk sosial, manusia melakukan interaksi dengan  manusia lain untuk dapat memenuhi kodratnya sebagai zoon politicon. Manusia tidak bisa hidup tanpa adanya bantuan dari manusia lain. Dalam hal ini akan menimbulkan suatu pola ketergantungan yang menyebabkan manusia saling berinteraksi. Dari adanya pola-pola interaksi yang terjadi manusia akan hidup berkelompok sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki.
       Sejak zaman dahulu melalui kelompok-kelompok yang terbentuk, manusia melakukan aktivitas yang ditujukan untuk memenuhi segala macam kebutuhannya. Baik kebutuhan fisik maupun emosi yang tentunya harus dapat dilakukan secara bersama-sama dan tidak menimbulkan suatu kekecewaan. Kelompok-kelompok tersebut pada zaman modern sering disebut dengan kata organisasi (organon :Yunani) yang dapat berarti suatu tempat atau wadah bagi orang-orang untuk berkumpul, bekerjasama secara rasional dan sistematis, terencana, terpimpin dan terkendali, dalam memanfaatkan sumber daya, sarana-prasarana, data, dan lain sebagainya yang digunakan secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan organisasi.
   Bicara tentang organisasi, kita juga tidak akan bisa melupakan kata manajemen. Dimana manajemen merupakan unsur terpenting dari sebuah organisasi. Manajemen dapat diartikan sebagai suatu cara untuk menyelesaikan pekerjaan atau tugas yang ada melalui kerjasama dengan orang banyak. Jika sebuah manajemen yang dilakukan organisasi itu buruk, maka bisa saja tujuan yang diharapkan tidak akan pernah berhasil.
     Berhasil atau tidaknya suatu sistem yang telah disepakati dalam organisasi juga tidak dapat terlepas dari manusia yang tergabung dalam struktur suatu organisasi. Kualitas yang dimiliki oleh setiap manusia pasti berbeda-beda namun untuk mencapai tujuan yang telah disepakati sebagai seorang manusia yang berpendidikan paling tidak kita harus dapat mengatur diri sendiri untuk kemudian dapat bertugas secara profesional dalam organisasi.
        Profesionalisme terkadang menjadi suatu kata-kata impian yang hanya diketahui dan terkesan sangat sulit untuk dilakukan. Padahal bila kita berkemauan untuk bekerja secara profesional dalam organisasi maka hal itu dapat memberikan dampak positif bagi diri kita sendiri. Bukan hanya menjadi angan-angan tak jelas, namun bila diawali dengan niat yang benar dari masing-masing individu maka perilaku profesional itu akan terwujud dengan baik dan berkesinambungan.
        Mengingat tentang profesionalisme, kita juga pasti pernah mengalami hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya. Seringkali hambatan yang ditemui berupa masalah tanggung jawab yang terkesan saling lempar dan saling tidak memperdulikan sehingga jalannya sistem menjadi rumit dan terlihat tidak jelas. Ketika kita dihadapkan pada kondisi yang seperti ini sepatutnya kita saling mengingatkan agar kesalahan yang terjadi dapat segera diperbaiki. Namun kenyataannya dengan adanya keakraban dan rasa kekeluargaan yang terbentuk, tiap orang memiliki persepsi yang berbeda dan cenderung salah dalam hal mengartikan rasa akrab dan kekeluargaan itu. Sehingga fenomena penyepelean tanggung jawab seperti sudah menjadi suatu kebiasaan yang kita temui.
        Penyepelean-penyepelean itu lambat laun berubah menjadi ciri khas dan sepertinya tak ingin ada perubahan terhadapnya. Entah karena memang sudah nyaman dengan sistem “saling lempar tanggung jawab” ataukah ada suatu hal yang harus ditawar ketika di awal sudah disepakati semua peraturan dan tanggung jawab yang ada. Misalkan dengan adanya tugas-tugas akademis yang mengantri, urusan intern keluarga yang dijadikan alasan dan sebagainya yang paling tidak harus dapat kita kondisikan dalam kadar waktu yang tidak berlarut-larut.
        Memang tidak mudah merubah suatu kebiasaan lama yang dianggap selalu benar menjadi suatu kebiasaan baru yang sepintas tidak menawarkan keuntungan apa-apa bahkan ada yang mengatakan hanya suatu praktek coba-coba. Namun sebagai orang terpelajar akankah kita mau terperangkap dalam kebiasaan lama seperti ini yang cenderung selalu mengandalkan kata “rasa” dalam menerangkan alasan-alasan sehingga kita terselamatkan dari tugas dan tanggung jawab organisasi yang sudah diberikan kepada kita?

        Pikiran yang bijak berkaitan dengan soal profesional dan kata “rasa” dalam pelaksanaan tugas suatu organisasi yakni bukan tentang “rasa” akrab yang ada akan membuat kita selalu menyepelekan tugas dan akhirnya kita akan menggantungkan diri pada orang lain dalam urusan tersebut, melainkan dengan adanya “rasa” kita akan menerapkan sikap profesionalisme dan tanggung jawab, agar tidak ada kejadian saling mengecewakan dalam sebuah organisasi.

(Muh. Helmi Aditia)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar