Pembunuhan Japar oleh tokoh Waska dalam salah satu adegan penpro ke-17 di Auditorium UMK (25/12/23) |
Umang-Umang atawa Orkes Madun II.
Pertama-tama dihadapkan naskah besar tersebut -bahkan kami sangat yakin bahwa
tidak ada yang berani meragukannya- kami sontak hampir gontai. Pertanyaan yang
tumbuh menonjol dan kian terjal yakni: akan kita kemanakan naskah besar
tersebut? Kami yang akan diarahkan oleh Umang-Umang, atau sebaliknya?
Kebetulan, kami sama-sama sepakat, bahwa kami yang akan mengarahkan
Umang-Umang.
Namun dengan alasan-alasan apa? Dengan tujuan apa kami memberi warna pada naskah tersebut? Menurut hemat kami, naskah -dalam hal ini Umang-Umang- Arifin cenderung membukabebaskan ruang yang besar untuk melakukan berbagai eksperimentasi. Pasalnya, cerita berkembang bebas kemana-mana menabrak jalur-jalur konvensional. Misal plot yang kerap berganti mendadak, diikuti dengan peralihan set yang notabene imajiner. Itu bisa saja menjadi keberuntungan sekaligus kesialan bagi kami. Akan berakibat fatal, kalau saja ketika ingin memberikan alasan keterhubungan dari kumpulan fragmen plot dalam naskah yang tidak linier itu, dramaturg dan sutradara tidak teliti.
Betapa tidak? Menghadapi simbol-simbol pada keterangan di dalam naskah yang -menurut Sapardi Djoko Damono, di salah satu wawancaranya- begitu puitis tentu boleh dibilang kejelian serta kecekatan sutradara sangat dituntut. Tidak terkecuali juga daya tangkap yang komprehensif dari para aktor. Di sini, menurut kami, kepekaan sosial jadi taruhannya. Kami tidak akan sampai pada jeritan kaum miskin yang ingin disuarakan Arifin, kalau saja kepekaan sosial kami tumpul. Mengingat naskah ini tidak terlepas dari persoalan tersebut. Dalam hal ini, kami harus berhati-hati.
Oleh: Teater Tigakoma
Dokumentasi pementasan:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar