Sabtu, 04 Maret 2023

Tigakoma Membaca Arifin C. Noer

Pembunuhan Japar oleh tokoh Waska dalam salah satu adegan penpro ke-17 di Auditorium UMK (25/12/23) 

Umang-Umang atawa Orkes Madun II. Pertama-tama dihadapkan naskah besar tersebut -bahkan kami sangat yakin bahwa tidak ada yang berani meragukannya- kami sontak hampir gontai. Pertanyaan yang tumbuh menonjol dan kian terjal yakni: akan kita kemanakan naskah besar tersebut? Kami yang akan diarahkan oleh Umang-Umang, atau sebaliknya? Kebetulan, kami sama-sama sepakat, bahwa kami yang akan mengarahkan Umang-Umang.

Namun dengan alasan-alasan apa? Dengan tujuan apa kami memberi warna pada naskah tersebut? Menurut hemat kami, naskah -dalam hal ini Umang-Umang- Arifin cenderung membukabebaskan ruang yang besar untuk melakukan berbagai eksperimentasi. Pasalnya, cerita berkembang bebas kemana-mana menabrak jalur-jalur konvensional. Misal plot yang kerap berganti mendadak, diikuti dengan peralihan set yang notabene imajiner. Itu bisa saja menjadi keberuntungan sekaligus kesialan bagi kami. Akan berakibat fatal, kalau saja ketika ingin memberikan alasan keterhubungan dari kumpulan fragmen plot dalam naskah yang tidak linier itu, dramaturg dan sutradara tidak teliti.

Betapa tidak? Menghadapi simbol-simbol pada keterangan di dalam naskah yang -menurut Sapardi Djoko Damono, di salah satu wawancaranya- begitu puitis tentu boleh dibilang kejelian serta kecekatan sutradara sangat dituntut. Tidak terkecuali juga daya tangkap yang komprehensif dari para aktor. Di sini, menurut kami, kepekaan sosial jadi taruhannya. Kami tidak akan sampai pada jeritan kaum miskin yang ingin disuarakan Arifin, kalau saja kepekaan sosial kami tumpul. Mengingat naskah ini tidak terlepas dari persoalan tersebut. Dalam hal ini, kami harus berhati-hati.

 Agaknya yang begitu kental dalam ingatan kami dari salah satu kredo Arifin yaitu, bahwa pertunjukan itu harus gemerincing. Artinya, sebelum melahirkan ke-gemerincing-an itu sendiri, kita harus bersedia menciptakan suasana sepi senyap terlebih dahulu. Hingga gemerincing itu akan nampak.

 Lalu, untuk mencapai apa yang kami harapkan, kami telah melakukan berbagai pendekatan. Mulai dari pemilihan kostum yang tidak terlampau jauh dari zaman kami. Pola akting yang segar. kehadiran media (proyektor). Tak luput juga dengan komposisi musik yang tidak hanya sekadar menempel dan menjadi pemanis. Namun memiliki daya resonansi dan sebangun dengan jiwa di tiap adegan.

 Yang kami ramu sedemikian rupa agar dapat menopang konstruksi dramatik dan tidak terjebak pada pola akting yang purba. Tujuan kami agar naskah Umang-Umang tidak kelewat jauh panggang dari api, sehingga memungkinkan dapat berkompromi dengan generasi kami, tanpa mengurangi kedalaman Umang-Umang itu sendiri. Dengan ini pertunjukan akan menemukan kontur yang tentunya akan menjadi kepemilikan kelompok kami dan mudah-mudahan subtil.

 Akankah kami mampu menjinakkan naskah besar ini, sehingga -barangkali bisa dibilang- dapat menjadi pergumulan yang baik antara pelakon dan penonton? Kami benar-benar tidak bermaksud hendak berbicara dikotomi baik dan buruk mengenai pementasan kami. Jadi, setelahnya, kami berharap bisa menghibur tamu kami dengan trengginas. Sampai jumpa di Teater Arena, TBJT (Taman Budaya Jawa Tengah), Surakarta. Tabik.

Oleh: Teater Tigakoma


Dokumentasi pementasan:











Tidak ada komentar:

Posting Komentar